Sabtu, 05 Januari 2008

Tarutung ! Kota yang Indah di utara Sipirok - Kaitan Sejarah!







Abstraksi Kehidupan
DARI NORDSTARD – JERMAN KE SIGUMPAR –TOBA SAMOSIR (TANAH BATAK)
Napak Tilas Perjalanan Dr. I. L. Nommensen di Tanah Batak
Dinas Pariwisata Kabupaten Toba Samosir

Ketika Pdt. Munson dan Pdt. Lyman; missionar Bangsa Amerika dibunuh di Sisangkak Lobupining (jalan antara Tarutung – Sibolga) oleh Raja Panggalamei pada tahun 1834, pada tahun itu juga tepatnya tanggal 06 Pebruari lahir seorang bayi di Pulau kecil Marsch Nordstand, di pantai utara Jerman berbatasan dengan Wilayah Denmark. Ayahnya Peter Nommensen dan ibunya Anna memberi nama “Ingwer Ludwig” yang artinya ”Tumpuan Harapan”. I.L. Nommensen adalah anak pertama dan satu-satunya laki-laki diantara 4 orang bersaudara. Ia lahir dari keluarga yang sangat miskin. Ibunya Anna dan ayahnya Peter, sering sakit-sakitan, yang selalu duduk di rumahnya memintal tali untuk bahan kaus atau menambal pakaian.

Pada masa kanak-kanak, Ingwer Ludwig Nommensen, sudah rajin membantu orangtuanya; menggembalakan ternak, dan hampir seluruh biri-biri di desanya sudah digembalakannya, hanya untuk mengharapkan gaji, demi untuk membantu dan menghidupi keluarga yang sangat miskin. Namun demikian dia juga sangat rajin ke sekolah, yang walaupun masa sekolahnya hanya pergi ke sekolah pada musim winter/dingin (bulan Nopember – April), atau pada saat hewan-hewan yang sudah digembalakannya sudah masuk kandang. Di sekolah ia sangat simpatik pada gurunya Tuan Callisen, sosok guru yang berperan memotivasinya untuk menjadi seorang missionar kelak. Sang Guru sering bercerita tentang seorang missionar yang berjuang untuk membebaskan bangsa dari keterbelakangan, perbudakan dan paham animisme (penyembahan berhala).

Pada usia 12 tahun tepatnya tahun 1846, Nommensen mengalami kecelakaan yang membuatnya tidak dapat berjalan selama satu tahun. Dia lumpuh tidak dapat berjalan karena kakinya bernanah terus dan nampak seperti busuk; sehingga dokter berkata : ”Kalau mau hidup kakinya harus dipotong”. Nommensen tidak bersedia. Menjelang Natal tahun 1847, Nommensen yang selalu membaca Alkitab, merenung dan membaca ayat Alkitab Joh. 14 : 14 ” Jika kamu meminta sesuatu kepadaKu dalam namaKu, Aku akan melakukannya.” Dia sangat gembira setelah membaca ayat itu, Ia yakin akan hal itu; sehingga Nommensen semakin menguatkan janjinya/nazarnya bahwa, seluruh hidupnya akan diberikan untuk Tuhan bila sakitnya sembuh. Tak lama kemudian seorang dokter datang ke rumahnya, dan memberikan obat kepadanya. ”Ajaib Benar” , hanya beberapa hari saja sudah tampak perubahan pada kakinya, akhirnya Nommensen dapat berjalan kembali. ”Sungguh besar mujizat, Tuhan !!!”.

Tanggal 02 Mei 1848, ketika Nommensen berusia 14 Tahun, ayahnya Peter Nommensen meninggal dunia. Diusianya 15 tahun tepat Minggu Palmarum tahun 1849, Nommensen naik sidi. Nats yang diterimanya adalah ; ”Tuhan, kepada siapakah kami akan pergi ? Perkataan Mu adalah perbuatan hidup yang kekal ” (Joh 6 : 68). Nats sidi tersebut tetap direnungi dan diwujudkannya dalam hidupnya, untuk berserah kepada Tuhan saja. Setelah dia Naik Sidi, kedewasaan bagi dirinya semakin nampak, khususnya karena dorongan keluarga dan yang harus menggantikan posisi ayahnya, untuk bertanggung jawab menghidupi keluarganya.

Disamping sebagai penggembala domba dan lembu, juga menjadi pekerja rel kereta api di kota kecil Hunsum dan Rendsburg, serta memperbaiki parit pengaman pulau yang rusak karena terpaan ombak di kampung halamannya. Dia sempat menjadi guru pembantu (penolong) di Risum, di rumah keluarga Nahsen, dan tahun 1854 Nommensen dipanggil untuk menjadi guru di Gotteskoog, untuk mengajari 19 orang anak petani kaya. Di Risum Nommensen layaknya seperti anak jalang (pengemis), karena ia berkelana dengan pakaiannya, yang lusuh dan dibungkus dalam sarung bantal dan berterompa (selop kayu). Pendeta dari Nibul yang mengaguminya, menghubungi inspektur Wallman di Barmen, melalui bantuan Ephorus Versman agar Nommensen bisa diterima disana. Semakin terbukalah jalan bagi Nommensen untuk memenuhi janjinya pada Tuhan untuk menjadi missionar.

Pada bulan Agustus tahun 1857, Nommensen diterima di Missionhaus yaitu Sekolah Pendeta asuhan RMG di Wuppertal, Barmen yang sering disebut kongsi Barmen. Di sini dia dipersiapkan menjadi seorang pendeta yang missionar. Selama Sekolah Pendeta Nommensen menunjukkan sikap seorang yang sangat rendah hati, ramah kepada teman-temannya. Dia ditahbiskan menjadi Pendeta di Barmen pada tanggal 13 Oktober 1861, hampir bersamaan dengan berdirinya HKBP di Parausorat, Sipirok pada tanggal 07 Oktober 1861, oleh Heine, Klammer, Betz dan Van Asselt. Selanjutnya Mission Barmen langsung mengirim Nommensen menjadi missionaries di Tanah Batak.

Pada tanggal 24 Desember 1861, dengan menumpang kapal “Pertinar” Nommensen berlayar menuju Padang Sumatera Barat melalui Nivwendiep. Perjalanan selama 142 hari (+ 5 bulan). Nommensen berlayar bersama Nona Dina Malga (Calon istri Pdt. Van Asselt). Mereka tiba di Padang 16 Mei 1862 selanjutnya tanggal 16 Juni 1862 tiba di Sibolga yang dilanjutkan ke Barus sampai tanggal 25 Juni 1862.

Di Barus dia memulai pekerjaannya dan setelah tinggal lebih kurang 6 bulan dia berangkat ke Sibolga, karena Resident Tapanuli tidak memberi izin untuk berdiam lebih lama di Barus. Maka pada tanggal 30 Nopember meninggalkan Barus menuju Sibolga dan selanjutnya, Nommensen dengan rombongannya pergi ke pedalaman menaiki gunung masuk hutan menuju Tukka dan Rambe. Disana dia mendirikan “gereja”. Nommensen ditemani orang Barus yang sudah sering berjumpa dengan Raja dari pedalaman. Di tengah perjalanan yang sangat melelahkan, mereka sampai di Desa Sijungkang dan bermalam di sana. Di perjalanan, Nommensen sempat melihat setumpuk rambut perempuan yang masih berdarah, tergantung di atas kayu tetapi tubuhnya entah kemana, dia sangat ngeri, tapi kengeriannya tidak diperlihatkan kepada temannya. Perjalanan I.L. Nommensen selanjutnya, adalah meneruskan pelayanan ke daerah Tapanuli Selatan persisnya ke Parau Sorat, Bunga Bondar dan Sipirok.

Dalam perjalanannya dari Barus ke Sibolga, dan dari Sibolga ke Sipirok, Nommensen juga mengunjungi Pdt. Heine ke Sigompulon Pahae dan Pdt. Van Asselt di Sarulla, kemudian pada tanggal 30 Desember 1862 bertemu dengan Pdt. Klammer di Sipirok. Pdt Klammer yang bekerja sebagai pengasuh sekolah pemerintah. Dari sana ia meneruskan perjalanannya ke Bungabondar, ke tempat Tuan Betz orang Belanda yang diutus Witteveen dari Ermelo. Oleh karena di daerah Silindung masih berkecamuk permusuhan, maka Nommensen ditugaskan melayani di Parausorat, dan di sana ia mendirikan sekolah untuk anak-anak, dan mengunjungi orang sakit. Setelah pada waktu rapat pendeta bulan Oktober 1863, terdengar kabar bahwa daerah Silindung sudah tenang dari permusuhan, maka pada tanggal 7 Nopember 1863 ia berangkat dari Bungabondar Sipirok, ke daerah Silindung untuk membuka perjalanan baru. Ditengah perjalanan menyelusuri hutan belantara, diantara hiruk pikuknya suara binatang buas, Nommensen tetap tegar. Mereka dijamu dirumah Ompu Gumara di kampung Banjarnahor. Pagi hari berikutnya berjalan melalui Simangambat, Pangaribuan, Sigotom dan Onan Sipinggan. Sekitar pukul 13.00 mereka sampai di Sigompulon. Tidak lama kemudian mereka sampai di atas Bukit Siatas Barita dekat Lumban Baringin, Sitompul dan Pansurnapitu. Dari tempat itu Nommensen jelas melihat lembah Silindung yang indah, padat penduduk tetapi masih menganut Animisme. Mereka beristirahat sekitar satu jam, dan dari tempat itu Nommensen memanjatkan doanya “Tuhan inilah tempat yang kuimpikan, biarlah saya mempersembahkan hidupku buat mereka, agar mereka menjadi milikMu yang abadi dan hidup atau mati aku tinggal ditengah-tengah bangsa ini, berdiam memberitakan firmanMu”. Dalam pendengarannya, seakan ada suara lonceng gereja saling menyahut, suara anak-anak bermain di halaman sekolah, dia seakan melihat orang-orang Batak sudah berpakaian bagus, masuk ke gereja yang banyak berdiri di Tanah Batak. Ditempat Nommensen berdoa, pada saat ini telah berdiri sebuah Salib Besar yang di bernama Salib Kasih.

Sesampainya di Silindung, banyak orang mengelilingi Nommensen, mereka bertanya apa maksud kedatangan Nommensen dan mereka heran melihat tampang manusia yang bermata biru (sibontar mata). Nommensen menjawab mereka ; “Aku datang untuk kalian, ingin hidup bersama – sama kalian, aku membawa kabar baik, aku ingin mengajari kalian berhitung dan menulis agar kalian pandai, aku membawa obat kepada kalian kalau kalian sakit.” Ada yang menyelutuk; “Di ho ma magom, naeng paoto-otoonmu hami? Mulak ma ho, ndang adong gunam. Matam songon matani hambing bontar mata!”. Nommensen menjawab mereka dengan lemah lembut, dia tidak takut walaupun dia hanya ditemani oleh beberapa orang pembantunya, Si Punrau dan Si Jamalayu dan orang lainnya. Nommensen meyakinkan bahwa dia akan mengajari orang tanpa ada paksaan. Ada seorang anak kecil yang bijak berumur 11 tahun, dia berkata kepada Nommensen; “Saonari didok lomomuna, muse dohononna ma lomonami”.

Penduduk tidak menerima Nommensen, berbeda dengan pengalaman Van Asselt dan Heine delapan bulan sebelumnya. Bahkan penduduk mengancam akan membunuh Nommensen bila dia tidak mau pergi. Namun berkat kepandaian berbahasa Batak untuk berkomunikasi dengan penduduk di Tanah Batak, juga dibantu oleh orang Batak yang sudah berpengalaman di luar tanah Batak yang membawa Nommensen ke jantung tanah Batak. Nommensen semakin yakin atas kemampuannya menyebarkan injil dan kedamaian. Beberapa Pemuda tertarik karena penampilannya, pandai bermain harmonika dan mengobati orang sakit. Akhirnya Nommensen diperbolehkan tinggal bersama mereka disana.

Pada tanggal 7 Oktober 1863 Nommensen berangkat dari Angkola ke Silindung melalui Simangambat, Liang, Banjarnahor, Sitarindak, Lumbansiagian, Hutagalung ke Desa (huta) Ompu Sumuntul dan tinggal di Sopo ni Raja Ompu Tunggul (Huta Bagasan) selama satu minggu. Ia memberitahukan rencananya datang untuk mengabarkan Injil. Kemudian ia meminta tanah untuk mendirikan sebuah rumah. Raja Ompu Tunggul berjanji akan memberikan kalau Nommensen dapat membawa barang-barangnya. Tanggal 19 Nopember 1963 Nommensen kembali ke Bungabondar untuk mengambil barang-barangnya, ia melalui Banuarea terus ke Nagatimbul, kampung Toga Suara. Kemudian ia kembali ke Silindung Mei 1864 dan membawa barang-barangnya tetapi ketika sampai ke Hutaga Bagasan, dan ketika ia kembali ingin masuk ke Sopo yang diberikan Raja Ompu Tunggul ternyata tidak diizinkan oleh Raja Ompu Tunggul. Lalu Raja Ompu Tunggul menyuruh Nommensen untuk mencari sopo yang lain karena soponya akan diapakai sebagai tempat menyimpan padi karena kebetulan lagi panen.

Itu hanya alasan, sebenarnya karena sudah ada kesepakatan Raja-raja Silindung tidak akan menerima ”Sibontar mata” karena mereka kuatir adalah suruhan Kompeni. Lalu Nommensen merasa kesal dan kecewa membawa kopernya lalu duduk-duduk di bawah pohon Besar (hariara) di Onansitahuru. Tetapi datanglah seorang laki-laki (Pajingkal Silalahi) dan mereka bercakap-cakap, lalu Pajingkal memberitahukan kepada Nommensen bahwa di sini juga ada lagi seorang Raja yaitu Raja Aman Dari (Pinompar ni Ompu Sumurung Lumbantobing) dan ia sedang pergi ke Harean ke rumah mertuanya karena istrinya sakit keras. Nommensen mengatakan kepada Panjingkal bahwa penyakit isteri Raja Aman akan sembuh, pesan ini supaya disampaikan dan ternyata benar besoknya isteri Raja Aman Dari sembuh. Raja Aman Dari bersuka cita lalu memberitahukan kepada Panjingkal jika Nommensen tidak diijinkan di Sopo Ompu Tunggul maka biarlah ia tinggal disoponya. Dengan sukacita Raja Aman Dari memberikan soponya untuk tempat tinggal Nommensen yang berada di Hutabolon. Tidak hanya itu Raja Aman Dari membuat perjanjian dengan Nommensen bahwa mereka akan sehidup semati (”Sisada hangoluan, sisada hamatean”). Untuk memperkuat perjanjian ini dan karena Raja Aman Dari kuatir akan keputusan ini akhirnya Rajam Aman Dari meminta kesediaan Raja Ompu Bungbung dari Parbubu dan Raja Ompu Sinangga dari Hutagalung Inaina untuk mendukung sikapnya yang telah menerima Nommensen. Mereka bertiga sepakat untuk menerima Nommensen dan juga mereka bertiga bertekat juga sehidup semati dengan Nommensen dan lalu Raja Aman Dari memberikan tanah untuk tempat rumah Nommensen didirikan yang didukung oleh kedua Raja tersebut. Akhirnya diberikanlah tanah yang berpasir di tepi Sungai Sigeaon, dan dimintakan supaya Nommensen mendirikan rumahnya di situ. Tanah itu diratakan pada tanggal 29 Mei 1864 dan sejak itu awalnya dihitung berdirinya Huta Dame. (Berdasarkan tanggal inilah Jemaat Gereja Dame HKBP dan Jemaat Gereja Dame GKPI di Saitnihuta selalu merayakan Ulang Tahun Kekristenan setiap tahunnya. Jubeleum 90 tahun Kekristenan di Saitnihuta telah dilaksanakan pada tanggal 29 Mei 1954, dan Jubeleum 100 tahun telah dilaksanakan 29 Mei 1964. Dan sebagai tanda untuk mengenang berdirinya Huta Dame, sekarang ini telah didirikan tugu yang terletak di Huta Dame I, Saitnihuta). Setelah tanah itu diratakan dibelilah rumah Ompu Balga dari sebelah Timur Pearaja, dan kayu papannyalah digunakan sebagai bahan untuk mendirikan rumah Nommensen ini. Menunggu rumah Nommensen dibangun, maka ia tetap tinggal sampai tiga minggu lagi di Hutabolon. Dari situlah dia manopoti huta, menjenguk orang yang sakit, berkhotbah dan berbaur dengan masyarakat. Setelah rumah itu selesai maka pindahlah Nommensen dari Hutabolon ke rumah yang baru ini namun ditempati hanya beberapa lama karena tidak lama kemudian terjadilah gempa di tahun 1860 yang mengakibatkan rumah itu rubuh. Tetapi atas usulan Nommensen dikumpulkanlah Raja-raja, antara lain : Raja Bagot Sinta, Raja Baginda Mulana, Raja Illa Muda dan Raja Rangketua (semuanya ini raja yang diangkat Raja Sisingamangaraja). Nommensen membaca izin Gubernur Padang dan dari Gubernur General yang menyatakan bahwa ia bisa tinggal di Silindung. Dalam rapat ini didukunglah keputusan Raja Aman Dari, Raja Ompu Bungbung dan Raja Ompu Sinangga yang telah memberikan tanah kepadanya, lalu kemudian diberikanlah tanah (tardingkan toruan) yang kondisinya juga tanah berpasir bekas jalan sungai Sigeaon. Rumah ini didirikan tanggal 12 Juni 1864, kemudian dibuat parik sekitarnya dan dibuatlah jaraknya supaya Gereja dan Sekolah bisa muat. Fungsi parik itu adalah untuk menjaga terpaan sungai Sigeaon apabila meluap atau lewat. Inilah yang disebut sekarang Huta Dame II atau Huta Godung pada saat ini.

Ketika Nommensen sakit keras, maka dia dibawa berobat tanggal 6 Juni 1871, ke Padang Sidempuan. Untuk pemulihan kesehatan, maka dia dibawa ke Sipirok hingga bulan Maret 1872. Selama beliau berobat, Huta Dame yang didirikannya di dalamnya Gereja Dame dan Sekolah sudah dirusak dan dihanyutkan oleh Sungai Sigeaon yang meluap. Lalu setelah Nommensen pulang dari Sipirok, ia melihat betapa Huta Dame (Pargodungan) sudah luluh lantak. Maka Nommensen berpikir, ada baiknya membangun pargodungan ke tempat/tanah yang tinggi. Karena persahabatannya yang baik dengan Raja Pontas, maka Raja itu membantu Nommensen untuk mencarikan pertapakan. Lalu atas kebaikan Raja Pontas (Raja Obaja) dan Raja O. Ginjang (Raja Soleman), diberikanlah tanah yang cukup luas, untuk mendirikan gereja di tempat yang lebih tinggi. Itulah bukit Pearaja, dan disinilah didirikan sebuah Gereja yang besar, yaitu HKBP Pearaja yang dimasuki (diompoi) tanggal 10 September 1872. Dan dikomplek Gereja inilah, sekarang berdiri Kantor Pusat HKBP.

Dalam kurun waktu 6 bulan pertama, Nommensen di Silindung, dia sudah beberapa kali mau dibunuh, salah satunya oleh pembantunya sendiri, Punrau. Mau dipengaruhi orang yang tinggal di Silindung, memberikan racun kepada Nommensen yang diaduk dalam bubur. Nommensen selamat dari cobaan yang mati adalah anjing piaraannya. Akhirnya Punrau diusir dan meninggalkan pekerjaannya. Cobaan lain datang dari Raja Panalungkup (seorang dukun) sengaja datang ke rumah Nommensen untuk membunuh dengan cara mencampurkan racun ke dalam makanannya, namun racun yang diberinya, menjadi obat bagi Nommensen, selanjutnya mereka menjadi sahabat. Akhirnya dia dibabtis dengan nama Nikodemus.

Pernah suatu ketika, ada diantara penduduk berkata kepada Nommensen “Pembicaraanmu enak kedengarannya, tetapi hatimu mungkin berlainan dengan perkataanmu. Kemungkinan engkau adalah suruhan kompeni, untuk menyelidiki daerah kami. Anak Pohan akan datang memenggal kepalamu.” Tetapi Nommensen menjawab, “Hal itu tidak mungkin kamu lakukan, seutas rambut pun tidak dapat diambil tanpa diizinkan Allah.

Raja Pontas datang membuat perumpamaan kepada Tuan Nommensen, dan mengatakan “Apabila sebutir padi dilemparkan ke halaman, apakah ayam tidak akan mematuknya?”. Nommensen menjawab “Betul, tetapi apabila ayam itu diusir oleh orang yang melemparkan padi itu, maka padi yang sebutir itu tidak akan dipatuk oleh ayam tersebut”. Walaupun demikian, Nommensen ditolak oleh masyarakat. Saya akan mendirikan rumahku disini, kata Nommensen. Mereka berkata “ Kami akan membakarnya ”. Nommensen berkata lagi “ Saya akan mendirikan kembali.” Tetapi, diantara Raja-raja ada yang menyenangi Nommensen, dan mengajari Nommensen memberikan jawaban kepada orang-orang itu.

Pada Bulan September 1964, oleh Raja-raja Silindung, berembuk membuat suatu pesta besar, untuk Mamele Sombaon Siatas Barita, yang akan dikurbankan Si Bottar Mata, yaitu Nommensen. Dari temannya, Nommensen tahu bahwa dialah yang akan dibunuh, sebagai kurban persembahan dimaksud. Nommensen merasa ngeri membayangkan bila masih ada manusia yang sampai hati memberikan manusia sebagai sesajen kepada setan. Nommensen berdoa, dia tidak takut, dia yakin akan pertolongan Tuhan, dia yakin bahwa ajalnya belum tiba, dia tahu masih terlalu sedikit yang dituai.

Nommensen memutuskan akan datang ke pesta tersebut, dia tidak lari, itu tak mungkin, kemana dia mau lari? Setelah berdoa dan berfikir sedemikian lama, Nommensen menulis surat yang diberikannya kepada Raja-raja Silindung, yang berkumpul di Onan Sitahuru. Isi suratnya adalah, bahwa pada pesta besar nanti tidak boleh ada yang membawa senjata seperti biasa. Tidak boleh bermusuhan sesama raja. Acara diteruskan seperti biasa dengan mempersembahkan kerbau dan kuda tanpa mempersembahkan manusia yang menjadi, sesajen kepada Ompu.

Tepat pada Tanggal 23 September 1864, adalah hari yang ditentukan sebagai pesta pemujaan. Penduduk menunggu dengan cemas. Lebih dari seribu orang berkumpul di Onan Sitahuru, banyak diantara mereka memegang senjata. Nommensen mendatangi kerumunan tersebut dengan tenang dan berwibawa. Sesuai bunyi Surat yang diberikan kepada Raja-raja, Nommensen dan Pembantunya mengumpulkan semua senjata, entah mengapa semua menurut.

Disekitar tempat pemujaan ada seekor kerbau yang dihias dan diikat, yang dituntun oleh seseorang yang berpakaian khusus mengelilingi Borotan Kayu 7 kali. Namun beberapa pengunjung bersorak-sorai bunuh “ Si Bontar Mata ”. Mereka menganggap kerbau hanya berupa symbol, padahal yang sebenarnya Nommensen yang harus dibunuh. Tetapi Allah melindungi dan melepaskannya, dengan datangnya hujan petir, dan halilintar pada waktu diadakannya pesta berhala itu, yang seharusnya terjadi permusuhan dan Nommensen akan mati. Akan tetapi semua hal yang buruk itu tersingkir dan itulah sebabnya Nommensen membuat nama tempat itu “ Huta Dame”.

Buah pertama pekerjaan Nommensen di Silindung adalah, dibabtisnya 4 pasang suami isteri serta 5 orang anak-anak; menjadi Kristen, pada tanggal 27 Agustus 1865. Selanjutnya, Acara pembabtisan dilakukan untuk 20 hingga 50 orang dalam suatu acara ibadah. Diantaranya Jamalayu (pembantu Nommensen yang dibawa dari Sipirok), yang diberi nama Yohannes dan istrinya Katharina. Setelah 2 tahun memulai misinya di Silindung, sudah ada 220 orang yang dibabtis, termasuk Raja Pontas Lumban Tobing dengan nama baru Obaja pada tahun 1867. Tiga tahun kemudian, perkembangan agama Kristen di Silindung jauh lebih pesat, meskipun para pengikut Nommensen ini, dibenci oleh para pelbegu karena orang-orang Kristen ini, tidak mau lagi memuja Leluhur/ Setan seperti biasanya.

Di sela-sela kesibukannya sehari-hari, Nommensen merasa sangat capek dan merasa perlu bantuan. Suatu ketika dia mengirim surat ke Barmen, untuk meminta bantuan, serta kekasihnya. Akhirnya Kongsi Barmen mengirim Pdt. Peter Heinrich Johansen beserta kekasihnya Karoline Margareth. Tanggal 12 Januari 1866, Pdt. P.H Johansen dan Karoline tiba di Sibolga dengan kapal “Excelsionn”. Dan pada tanggal 16 Maret 1866, Nommensen menikahi Karoline di Sibolga. Sekembalinya dari Sibolga Nommensen dan Johansen sepakat membangun tempat baru untuk Johansen. Penduduk di Pansur Napitu memberikan tanah di sekitar Sombaon Aek Namulbas, yang dianggap angker, untuk tempat tinggal. Nommensen, beserta 30 orang temannya datang dari Saitnihuta untuk membantu Pdt. Johansen membangun rumahnya. Akhirnya rumah Johansen selesai dan pargodungan di Pansurnapitu ini dinamai “Zoar”.

Pada tahun 1867, Nommensen selesai menterjemahkan Alkitab Perjanjian Baru ke dalam Bahasa Batak Toba. Dan pada tahun itu telah lebih dari 7000 orang di babtis di Silindung menjadi Kristen.

Setelah Nommensen dan Johansen, Barmen mengirim Pdt. Mohri tahun 1870 dan tinggal di Sipoholon. Tahun 1874 datang lagi Pdt. Simoenent dan ditempatkan di Simorangkir. Kemudian dikirim Nona Hester Needham Tahun 1889 dan merupakan bibelvrouw pertama di Silindung yang dibantu oleh Nona Thora.

Tahun 1873, Nommensen mempunyai ide Wanderschule (Sekolah Keliling/ Sikola Mardalan-dalan) yang gurunya Nommensen di Pearaja Tarutung, Johansen di Pansur Napitu dan Mohri di Sipoholon. Empat tahun lamanya Sikola mardalan-dalan berlangsung, sampai berdirinya Seminarium (Sekolah Guru) Tahun 1877 di Pansur Napitu yang dipimpin oleh Johansen. Tahun 1884 Seminarium ini dilengkapi dengan Sekolah Pendeta pertama di Tanah Batak.

Tahun 1880, Nommensen beserta istri dan anak-anaknya pergi berlibur ke Jerman, dan Tahun 1881 Nommensen pulang sendirian ke Pearaja karena istrinya kurang sehat dan anak-anaknya ingin bersekolah di Jerman. Pada Tahun 1881, Nommensen ditetapkan oleh Barmen menjadi Ephorus pertama HKBP yang digelari “OMPUI EPHORUS”.

Setelah Nommensen yakin, bahwa kekristenan di Silindung sudah mulai mapan, maka dia ingin pindah ke daerah Toba. Nommensen menyerahkan tugasnya di Pearaja kepada Pdt. Metzler. Sudah sejak lama Nommensen merencanakan pengembangan misinya, ke daerah Toba, yang terkenal dengan keindahan alamnya dan danaunya.

Pada tahun 1876, missionaries Johansen, Heine dan Mohri, sudah pernah berkunjung ke Toba. Mereka nyaris terbunuh oleh penduduk setempat yang masih pelbegu, namun Tuhan melindungi mereka. Pada tahun yang sama, Nommensen mengajak temannya P.H. Johansen dari Pansurnapitu , untuk mengadakan kunjungan ke Toba diantar oleh Raja Pontas. Selama dalam perjalanan, mereka bermalam satu malam di Sianjur, kemudian besoknya melanjutkan perjalanan ke Balige. Sesampainya di Balige mereka disambut baik oleh Kepala Kampung Balige, dan mengajak mereka tinggal di Toba.

Nommensen melihat, bahwa misi zending mereka, pasti berhasil di daerah Toba. Sebagaimana pengalaman sebelumnya, Nommensen sudah mengerti cara mendekati pelbegu. Mereka berdua dikerumuni orang banyak dengan segala sikap yang kurang bersahabat, tapi missionar unggulan ini tidak pernah takut. Banyak orang yang meminta obat dan banyak juga yang mencemoohkannya. Tidak beberapa lama mereka tinggal di Toba, mereka kembali lagi ke Pearaja Tarutung, sebab di Balige terjadi perang antara pasukan Sisingamangaraja XII dengan pasukan penjajah Belanda.

Pada tahun 1881 dua orang missionar pertama yang dikirim ke Toba adalah Pdt. Pillgram dan Kassel, atas permintaan Raja Ompu Batu Tahan Siahaan di Balige. Selanjutnya Raja Ompu Batutahan Siahaan sangat berperan dalam perkembangan ke-Kristenan di daerah Toba. Pada tahun 1884, diadakan rapat tahunan yang dihadiri 16 orang missionar, dengan 600 peserta lainnya yaitu, Guru, Raja-raja dan Penatua. Dua tahun kemudian didirikan tempat (pusat) missionar kedua di Toba yaitu di Laguboti, yang dipimpin oleh Pdt. Bonn. Pada tahun 1886 Nommensen kembali datang ke Laguboti dan Sigumpar. Ia menggantikan Pendeta Bonn yang pindah ke Pangaloan. Di Sigumpar, sebuah desa di pinggiran Danau Toba terjadi perkara tanah antar penduduk. Kepada kedua belah pihak, Nommensen meminta supaya tanah itu lebih baik diberi kepadanya. Ternyata kedua belah pihak yang berperkara setuju menyerahkan tanah itu kepada Nommensen. Nommensen berhasil memberitakan Injil kepada penduduk Sigumpar. Dan bersama dengan penduduk ia mendirikan rumahnya di atas tanah pemberian penduduk, kemudian mendirikan gereja, sekolah dan balai pengobatan. Sigumpar kemudian menjadi basis penyebaran Injil di daerah Toba bahkan Pulau Samosir dan Simalungun. Dalam usaha penyebaran Injil di daerah Toba, Nommensen dibantu oleh beberapa orang Missionaris seperti Pendeta Steinsik di Laguboti, Pendeta Fohlig di Siantar – Narumonda, Pendeta Jung di Parsambilan, Pendeta Kristiansen di Parparean, Pendeta F. Brinkschonidt di Sitorang, Pendeta Qwentmeier di Lumban Pinasa, Pendeta Betz di Lumban Lobu. Dan juga dibantu oleh Pendeta Batak yang sudah tamat dari sekolah Pendeta di Pansurnapitu.

Di sela-sela kesibukannya, mengabarkan Injil di Toba, Nommensen mendapat kabar, bahwa istrinya Karoline meninggal dunia di Jerman. Berita ini dia ketahui, sebulan setelah istrinya meninggal. Alangkah pedihnya perasaannya, si istri yang dikasihinya, pergi tanpa meninggalkan pesan.

Tahun 1892, Nommensen dan Johansen yang juga sudah menduda, pergi ke Jerman untuk berlibur, menjenguk anak-anaknya, dan mencari pasangan baru. Nommensen menikahi anak Tuan Harder, yang bernama Christine, dan Johansen menikahi Dora, anak Tuan Heinrich.

Tidak lama mereka berkeluarga, istri kedua Nommensen, meninggal dunia pada Tahun 1909. Setelah melahirkan tiga orang anaknya. Dia dimakamkan di Sigumpar.

Setelah penginjilan dianggap sukses di daerah Toba, maka penginjilan dilanjutkan ke Pulau Samosir. Dari Sigumpar mereka naik perahu (Solu) mengarungi Danau Toba tahun 1893 Pendeta J. Warneck sampai di Nainggolan, tahun 1898 Pendeta Fiise di Palipi, tahun 1911 Pendeta Lotz di Pangururan, tahun 1914 Pendeta Bregenstroth di Ambarita. Nommensen melihat alangkah baiknya kalau Injil diteruskan ke Simalungun. Maka Nommensen mengusulkan kepada RMG supaya mereka diberi izin mengembangkan pelayanan ke Simalungun.

Setelah mendapat restu maka pada tanggal 16 Maret 1903 berangkatlah Pendeta Simon, Pendeta Guillaume dan Pendeta Meisel, mereka berangkat dari Sigumpar menuju Tiga Langgiung, Purba, Sibuhar-buhar, Sirongit, Bangun Purba, Tanjung Morawa, Medan, Delitua, Sibolangit, Bukum. Kemudian dalam perjalanan berikutnya mereka bersama Nommensen berjalan melalui Purba, Raya, Pane, Dolok Saribu dan Onan Runggu, mereka menyebarkan Injil sampai ke pedalaman Simalungun.

Setelah sekian lama mengabarkan Injil ke pedalaman Simalungun, Nommensen kembali ke Sigumpar Toba. Dia menyerahkan tugas penginjilan kepada rekan-rekannya.

Nommensen merenung dan bangga melihat benih yang ditaburkannya, sudah berbuah dan siap dipanen. Dia berdoa kepada Tuhan, kiranya apa yang dia taburkan semakin dapat mengikis paradigma hasipelebeguon menjadi hakristenon, mengubah sikap kesombongan menjadi rendah hati, sikap kekerasan menjadi kelemah lembutan.

Pada hari Sabtu tanggal 18 Mei 1918, Nommensen diantar oleh anaknya, Jonathan dari Sigumpar ke Balige hendak ke Pangururan, untuk mengikuti pesta Zending pertama di Dolok Pusuk Buhit. Pada saat Jonathan mengantar ayahnya Nommensen ke Balige, di dalam perjalanan, Nommensen mengharapkan agar Jonathan mengikuti jejaknya. Pada kemudian hari Jonathan akhirnya menjadi Pendeta. Sehari sebelum Pesta Zending tersebut, Nommensen telah sampai di Pangururan dan rombongannya disambut oleh Tuan van Der Meuler Kontreleur di Samosir, bersama Pdt. Eigenbroad dan Demang Henoch Lumban Tobing bersama masyarakat Pangururan. Pada pesta zending di Pangururan, akhirnya kurang meriah karena malam harinya Nommensen jatuh sakit, sehingga Pdt. Eigenbroad dan O. Van Eigen yang juga dinantikan oleh masyarakat, tidak dapat hadir kerena merawat Nommensen.

Keesokan harinya setelah Dr. Winkler dipanggil dari Pearaja Tarutung, bersama anaknya dari Sigumpar, kesehatannya sudah mulai pulih dan dapat kembali ke Sigumpar. Sampai dengan 22 Mei Jam 18.00 kedaan kesehatannya sudah semakin membaik, akan tetapi pada Jam 19.00 penyakitnya kambuh lagi.

Pada Hari Kamis Tanggal 23 Mei 1918 pada umur 84 Tahun 3 Bulan 17 hari, Ompu i Nommensen menghembuskan nafasnya yang terakhir pada pukul 06.00 pagi di saat Lonceng Gereja Sigumpar berbunyi untuk mengingatkan orang berdoa sebelum memulai kegiatan mereka. Dia menutup mata untuk selamanya setelah berDoa “ Bapa kedalam tangan Mu kuserahkan rohku, Kau telah membebaskan aku. Amin ”. Pada jumat sore, 24 Mei 1918, Ompui Nommensen dikubur di Sigumpar dan puluhan ribu orang datang untuk mengucapkan salam perpisahan. ”Dia telah lama pergi, namun kita tetap merasakan yang telah dibuatnya dan patut mengenangnya. Ingatlah akan pemimpin-pemimpin kamu, yang telah menyampaikan Firman Allah kepadamu. Perhatikanlan akhir hidup mereka dan contohlah iman mereka (Ibrani 13:7)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar